Bisu tak berarti diam

Bisu tak berarti diam

Rabu, 21 Oktober 2015

Bukan Tersesat; Terjerembab dalam Kubang


Adakah kau tahu, saat mata tersuguh layu, hanya mampu tertunduk lalu tergugu. Adakah musim yang tak pernah berganti? Adakah bunga yang senantiasa mekar an tak pernah layu? Semakin kususuri jalan ini, semakin gusar kudapati. Pernah aku mencoba untuk berbalk arah, tapi nihil. Hanya kudapati warna gelap yang barangkali menyesatkan, aku ragu. Aku tak berani untuk berbelok ke arah lain, hanya mampu berjalan lurus, meski sesekali menengok ke belakang namun hanya sayatan yang tergambar.
Aku telah sampai pada titik yang sungguh menjemukan. Hanya kepura-puraan yang serta merta menjadi baju dalam diri. Usang dalam penjamuan malam. Pun hingga pagi masih saja sama, kerdil penuh bekas luka sejak kemarin. Tak pernah mencoba mengobati hingga bertubi. Hanya jeruji yang menimpali lalu pergi, sedang tangan masih menggenggam.
Ada banyak cara untuk peduli. Namun mengapa aku tak menemukan cara untuk peduli terhadap diri sendiri? Aku tak punya cara untuk berbagi, membahagiakan diri. Dan hingga kini, aku masih berdiri di tanah yang berduri, kaki tergores belati tak pernah mati. Aku tak mampu beranjak lantaran cermin yang di depan mata, selalu berkaca bahwa akupun tak pantas untuk sekedar melangkah hingga persimpangan jalan berikutnya.


Minggu, 03 Mei 2015

Elegi Si Gadis Kecil


Dalam senja temaram, si gadis kecil tengah bersedeku memeluk kedua lututnya. Duduk diam dibalik bilik anyaman bambu terdengar tangisan tergugu. Hujan sedari tadi kian menderas, semakin membasahi tubuh mungil tersebab tetesan dari atap yang tak rapat. Sedang apa gerangan gadis kecil itu? Rupanya ia sedang menunggui ibunya yang masih belum pulang dari pagi tadi. Sang ibu berangkat untuk menjajakkan dagangannya hampir ke pelosok desa. Kue lapis dan beberapa macam gorengan hasil tangan dari si gadis kecil dan sang ibu saben harinya menjadi hasil pokok untuk sesuap nasi.
Hari ini tak seperti biasanya, hujan kali ini pun tak seperti biasanya. Nampaknya langit benar-benar muram, wajahnya gelap laksana murka sang raja. Derasnya hujan dsertai terapaan angin yang kencang menggoyangkan pohon-pohon berdahan besar. Gubuk kecil di atas sepetak tanah pun hampir ikut terseok angin yang membawa hujan. begitu pula dengan hujan di mata si gadis kecil, air matanya semakin menderas. Bukan karena ia takut akan hujan yang lebat dan angin yang bak badai, namun karena ia gelisah. Sosok yang ditunggu tak kunjung nampak di pelupuk, sang ibu.
Hatinya kian tergoncang kerap kali angin menghempaskan dirinya. Tak dapat melakukan apapun, hanya duduk diam tak boleh beranjak sampai sangiIbu kembali, begitulah pesannya.
***
Kakinya terseok oleh genangan air yang kian meninggi. Telapak kaki yang tanpa alas telah payah. Kepala yang menyunggu tampah isi gorengan kini nampak sudah habis. Tapi ternyata bukan, rupanya dagangannya masih utuh, hanya berkurang beberapa potong saja. Bahkan kini sudah agak basah oleh hujan. Semua gorengan dimasukkan ke dalam kantong keresek berukuran agak besar di dalam rinjing yang masih lekat digendongan punggungnya.
Sudah seharian keliling desa, menyusuri hujan yang kian menderas, hingga petang menjelang namun rezeki hari ini tak seperti kemarin yang hanya setengah hari sudah habis  terjual. Sesekali berteduh di emperan rumah warga yang berkenan untuk ditumpangi. Orang mana yang mau membeli gorengan basah dikala hujan menggenangi jalanan dan angin menggigilkan badan. Sang ibu tak mau pulang sebelum dagangan lau, sebelum receh memenuhi kantong plastiknya.  Akan makan apa, esok? Sungguh Demi Tuhan, jikalau saya masihlah sendirian, aku tak makan seharian pun tak jadi soal, tapi bagaimana dengan gadis kecilku? Malaikat kecil titipanNya. Ibu macam apa aku ini, yang tak sanggup memberikan suapan nasi untuk anaknya. Hati sang ibu bergoncang.
Sang ibu kian payah, langkahnya gontai. Daun pisang yang memayungi tubuhnya jatuh lepas terhempas angin. Tubuh ringkih yang kian payah jatuh tergopoh di jalanan panjang di sudut pelosok. Seketika gendongan ikut buyar bersama gorengan basah terbungkus plastik bolong. Tak satupun mata yang melihat tubuhnya tergeletak dalam genangan air, hingga membiru. Ranting berguguran ikut menyudahi nafas dan detak jantungnya. Dan esok pagi adalah elegi.
***

            Lihatlah, gadis kecil itu masih saja duduk di balik bilik gubuknya. Rupanya ia masih menunggui Sang Ibu yang sudah membiru di ujung jalan desa. Tangisnya tak lagi tergugu, tangisnya pecah seketika saat tubuh sang ibu telah kembali, kembali bersama rombongan yang membopongnya. Sang ibu telah menjadi jenazah. Tubuhnya hampir beku, wajahnya pucat pasi meninggalkan duka yang teramat lara. Si gadis kecil kian erat memeluk sang Ibu yang tak lagi mampu mengusap air matanya. 

Senin, 20 April 2015

Menyeka Rindu

Malam ini aku kembali menjatuhkan air mata, tangisku tergugu. Sudah dua malam seperti ini, lantaran rindu yang merajam. Terhitung belum sampai tiga malam, dada ini terasa perih. Akankah aku kalah? Kalah terhadap apa, atau siapa?
Bukan aku takut kehilangan dan atau aku terlalu ringkih untuk sendiri disini, hanya belum berani untuk membiasakan diri tanpanya di sisi. Tanpa wajahnya yang lekat dengan senyuman khasnya, tawanya yang tanpa paksaan dan hangat tatapnya. Halus tuturnya namun tegas mendamaikan, bahu legamnya untuk bersandar sesekali saat diri tak lagi mampu berdiri, untuk sekedar menahan kepala supaya tak jatuh lalu tersungkur.
Bagai tanaman kering tersebab kemarau yang datang tiba-tiba, sebentar lagi layu jika tak kunjung tersirami ribuan tetesan hujan yang sebenarnya. Tapi sadarlah, bahwa jika aku menyerah lalu layu, aku akan kalah. Berusahalah untuk menyelamatkan diri sendiri dari kemaraunya jiwa. Ingatlah, bahwa hujan sudah berjanji akan dating dengan segenap ketulusan yang mewangikan taman di hati. Ketahuilah, bahwa hujan mampu menyudahi semua elegi yang kini sedang menjamahi.
Seperti inikah, rindu?
Di kala malam mulai datang dengan sambutan hangat senja yang temaram, sekujur mulai menggigil. Perlahan tangan ini menyeka air mata hangat yang membasahi kelopak dan berjatuhan mengaliri pipi. Dan malam ini, aku benar-benar jatuh padamu, pada bahumu yang meski semu.



Jumat, 27 Maret 2015

Bala Kepompong

Inikah rasa yang sebenar-benar rasa? 
Sebuah  amunisi yang terkadang menguatkan dan tak jarang melemahkan. Dunia baru yang mesti dijalani dan harus ditaklukan, kali ini cukup menguras energi yang tak sedikit. Rasa yang membiru menderu, bergemuruh dalam jiwa. 
Inikah dunia yang sesungguhnya?
Sikap manis dituntut sepenuhnya, tapi apakah kau tahu? jika yang manis justru akhirnya layu, dikeringkan oleh sikap manis lainnya yang ambigu dan sebenarnya berseteru. Dituntut untuk selalu bisa dan serba bisa, padahal hanyalah orang baru yang bahkan masih lugu. Tak boleh mengeluh meski sebenarnya berpeluh di dalam kepayahan yang tergugu. 
Lalu apa yang sebenarnya kau cari?
Dunia baru namun sebenarnya tak baru. Dunia yang menawarkan kehidupan nyata atas diriku. DImana aku dapat leluasa menunjukkan diriku yang sarat akan mimpi dan dengan nyaman menunjukkan segala yang bisa kulakukan tanpa basa-basi dan permisi. 
Apakah kau tengah tersesat?
Aku anggap ini adalah jalan lain yang akan mengantarkanku kepada duniaku sesungguhnya nanti. Bukan tersesat, hanya saja aku diberi kesempatan untuk meniti jembatan lain yang penuh liku. Tugasku hanyalah melewati ini dengan tanpa mengeluh. Menaklukan setiap rintangan, jangan sampai dikalahkan oleh keadaan yang kerap kali melucuti. 
Yakinlah,
Bahwa hidup tak selamanya hitam atau bahkan abu-abu. Merah, hijau, dan warna yang cemerlang lainnya sudah bersiap menjemput tanganmu, mengucapkan selamat datang dan selamat berproses di kehidupan baru yang lebih nyata dan lebih hebat untuk proses hidupmu.
Nikmatilah,
Jalani saja, tak perlu jadi bebabn difikiran, karena itu hanya menjadi bomerang yang membelenggu. Cukup dijalani dengan hati maka kau akansegera meraih tangan-tangan yang cemerlang menuju sukses dan bahagiamu.



Selasa, 24 Maret 2015

Kosong



Bagaimana mungkin aku akan meninggalkannya? Lalu siapa yang akan menitahnya, mengajari ia sampai berdiri sendiri lalu berjalan dan kemudian berlari. Aku sedemikian bimbang pada cerita ini, aku sungguh masih meraba untuk melanjutkan langkahku dalam cuplikan cerita berikutnya. Kosong. 

*Aku pun tak menganggap baik diriku, tapi setidaknya aku dan kamu bisa berjalan beriringan, belajar tentang kebaikan-kebaikan yang semestinya.


Jamuan Doa



Malam ini ambigu. Perasaan ini mengharukan, terlintas kisah di putaran waktu yang lalu. Bagaimana seharusnya rasa saat ini, saat engkau telah pada titik puncak perjuanganmu. Selamat atas capaian yang telah engkau raih, sarjana muda yang dipenuhi mimpi gemilang untuk kualitas hidupmu.  Aku tahu, harusnya aku turut bersuka cita atas apa yang engkau raih saat ini. Dan aku berhasil menemanimu sampai titik. Tapi mengapa tak demikian, kenyataan rupanya justru sebaliknya. Dirundung perasaan yang membiru, gelisah untuk berpisah. Ini menyedihkan, sungguh.
Barangkali aku saja yang terlalu jauh berpikir tentangmu. Dalam benakku sudah tertanam bahwa engkau pasti akan pulang ke halamanmu. Lalu benarkah kau akan kembali? Sungguh tak mampu kubayangkan bila akhirnya demikian. Telah banyak yang telah kita lalui bersama dalam canda tawa, duka lara, air mata dan kekecewaan yang teramat. Namun kita mampu melewati itu, karena kita tahu, bahwa kita adalah satu. We are one and we can life together. Hati ini tak akan mudah berpaling atau bahkan berhenti untuk memperjuangkan apa yang sudah terjalin dalam bingkai cerita yang pelangi.
Dalam doa, kupanjatkan bahwa ini bukanlah akhir atas apa yang telah kita upayakan selama ini, tapi ini adalah awal yang akan kembali kita perjuangkan untuk capaian pada tangga selanjutnya. Eratkan yang sudah terjalin, kuatkan yang sudah terlontar dalam janji untuk membangun cita dan cita demi masa depan yang bahagia. Hunian yang sarat akan kedamaian dan penuh cerita telah menanti di depan sana.
Semoga selalu dikuatkan atas hati yang tak sempurna. Kepayahan ini akan semakin runtuh jika tak saling menguatkan. Jika memang berjodoh, semoga dimudahkan jalan untuk menuju titik yang sakinah. Yang Lathif, dekatkanlah. Amiin.

Rabu, 04 Februari 2015

Nikmati, apapun warnanya!

Tanah baru untuk berpijak, warna baru meretas. Macam rasa yang beranung di dalam benak, segelintir mimpi terendapkan. Memilih jalan ini, tak semudah mengedipkan mata namun juga tak sesulit mengucapkan kata maaf saat kita tak salah. Mengapa demikian? berpindah haluan dari koridor yang sudah lama diimpikan dan menjadi target utama untuk capaian yang disegerakan itu butuh keberanian. Keberanian untuk siap menghadapi semua konsekuensi setelahnya, apa dan bagaimana yang akan mendera diri ini. Pengukuhan atas keputusan diperlukan saben waktunya. Asupan dari berbagai sisipun tak luput dari kebtuhan diri agar terpatri. 
Menyesal? 
Mundur saja?
Itu adalah pertanyaan yang (barangkali) berlarian di pelupuk. Tapi akankah kau akan dikalahkan oleh keadaan? rapuh sekali jika demikian. Manusia macam apa yang model demikian. Semoga tak termasuk di dalamnya. Apapun warna yang tengah dihadapi, nikmati! tenang saja, hidup tak selamanya warna hitam ataupun putih, masih ada warna-warna lain yang bersiap menghiasi hidupmu jika kau mau dan kau menginginkannya. Maka berusahalah untuk kau gapai pelangi, karena kau pun tahu bukan? bahwa pelangi adalah indah. Sungguh mengagumkan jika hidupmu pelangi, kawan. 

Selamat berpijak pada warna-warna baru hidupmu.

Jumat, 16 Januari 2015

Meretas Senja Mengkelabu




Hari ini aku masih ternging dengan suara lembutmu. Namun aku tak bahagia mendengarnya, tersebab apa? Karena ternyata kau tak sama denganku. Aku berniat untuk menjalin pertemanan denganmu, sungguh, tak ada niat lain. Bahkan, jika kau berkenan, aku dan kamu bisa menjadi kawan baik yang bisa saling sapa dan tukar cerita bahagia untuk tertawa bersama. Namun sepertinya itu hanya ilusi dalam benakku saja, kau adalah sebaliknya. Yah, kau memiliki prasangka yang jauh di luar pikiranku, itu melukaiku, kawan. Tak bisakah kau sedikit merasakan aroma untuk baikku dan baikmu?
Kau tak ingin bertemu lagi denganku, sepertinya. Kau menganggap bahwa semuanya adalah angin lalu yang membawa kabar buruk terhadapmu, dan aku adalah bagian dari angin itu. Tak bisakah kau buka matamu pelan-pelan, kawan? Kau ingin aku segera berlalu dan tak menampakkan lagi di depanmu. Itukah yang kau mau? Itu kah yang ingin kau katakan sebenarnya padaku? Jika kau menganggap waktu lalu adalah pertemuan kali terakhir, tapi bagiku, itu adalah pertemuan yang mengawali cerita aku dan kamu.
Terdengar sederhana memang, kau pun mungkin memandangnya demikian terhadap ini. Tapi seperti inilah, awan mengkelabu di sore hari, di penghujung senja yang temaram.

Kamis, 08 Januari 2015

Benar-benar Berdua


Pagi ini, masih uput-uput, aku melihat bulan yang berdampingan hanya dengan satu bintang, romantis sekali. Jarang sekali kudapati pemandangan seperti ini di langit yang masih  sendu berselimutkan awan basah, sungguh indah kawan. Kedua cahaya ini, bulan dan bintang, tak memiliki banyak waktu di saben harinya untuk saling bertatap dan berdampingan. Tapi pagi ini, kudapai keduanya berdampingan dalam jarak yang sungguh dekat, jika dilihat dari tanah bumi, dan keduanya memang hanya (benar-benar) berdua.

Rabu, 07 Januari 2015

Lalu kau mau apa, jika kebaikanmu tak terbalas?

Lalu kau mau apa,  jika kebaikan tak terbalas?
Seketika teringat kata-kata abah, beliau mengatakan bahwasanya tak semua kebaikan dapat diterima dengan baik. Waktu itu, hanya kuperdengarkan dengan lalu saja. Dan ternyata kali ini, aku mengalaminya sendiri. Tersebab apa? mengapa demikian adanya? (barangkali) yang menurutku baik, belum tentu baik juga menurut orang lain. Iyah, orang lain, baik kau, dia, atau pun mereka.

Jika sudah demikian, bagaimana sebaiknya? ikhlaskan saja. Apapun respon dari orang lain terhadap niat baik kita, cukup hadapi dengan senyuman, senyumin aja! Yang terpenting bukanlah respon atau bahkan balasan dari orang lain terhadap kita, tetapi usaha kita untuk selalu berbuat baik dan membaiki orang lain. Jika kita memang tulus, pasti ada balasana langsung dari Yang Maha baik.

So, tak perlu berkecil hati dengan kebaikan yang tak terbalas. karena ini lebih mending dari pada kebaikan yang terbalas dengan kepahitan.Ini lebih menyedihkan, sungguh. Yakinlah, bahwa kebaikan akan selalu ada balasan dariNya. Asalkan semuanya berasal dari yang namanya ketulusan, dari hati. Iya?


Selasa, 06 Januari 2015

Kenyataan yang Jujur

Coba lihatlah ke wajahmu, kawan! lebih baikkah dariku, atau bahkan lebih buruk dariku. Lantas, jika aku salah, apakah itu berarti anda benar? 
Baiklah, jika kau tak mau mengambil cermin untuk melihat dirimu sendiri, itu tak masalah. tapi jangan harap, aku pun akan mengambilkannya untukmu. Tanpa harus bersusah payah aku menyadarkanmu, wahai kawan, akan ada waktu dimana kau tersadar dengan sendirinya oleh alam dan musim yang seiring berganti.
 Kali ini aku atau kau yang salah atau siapakah yang sebenarnya yang melakukan kesalahan? itu tak penting sekarang. Ayolah, turunkan ego dalam diri masing-masing. Ini bukan siapa yang salah atau siapa yang benar, dan bukan siapa yang menang atau siapa yang kalah. Ini adalah tentang jalan yang semestinya dilalui menuju titik. Titik yang bukan akhir, namun sebuah pijakan untuk jalan yang selanjutnya. Tak mau jika kita tetap terbelenggu dalam kubangan persoalan yang sama sekali tak dicari jalan keluarnya.
Ayolah, jalan kita masih panjang. Tak perlu mempersoalkan masalah yang sebenarnya kecil. Dan lagi, tak perlu menyalahkan siapapaun. Tengoklah, Siapa yang ingin disalahkan?
Menghela nafas panjang, lalu pikirkanlah dengan hatimu.