Bisu tak berarti diam

Bisu tak berarti diam

Rabu, 21 Oktober 2015

Bukan Tersesat; Terjerembab dalam Kubang


Adakah kau tahu, saat mata tersuguh layu, hanya mampu tertunduk lalu tergugu. Adakah musim yang tak pernah berganti? Adakah bunga yang senantiasa mekar an tak pernah layu? Semakin kususuri jalan ini, semakin gusar kudapati. Pernah aku mencoba untuk berbalk arah, tapi nihil. Hanya kudapati warna gelap yang barangkali menyesatkan, aku ragu. Aku tak berani untuk berbelok ke arah lain, hanya mampu berjalan lurus, meski sesekali menengok ke belakang namun hanya sayatan yang tergambar.
Aku telah sampai pada titik yang sungguh menjemukan. Hanya kepura-puraan yang serta merta menjadi baju dalam diri. Usang dalam penjamuan malam. Pun hingga pagi masih saja sama, kerdil penuh bekas luka sejak kemarin. Tak pernah mencoba mengobati hingga bertubi. Hanya jeruji yang menimpali lalu pergi, sedang tangan masih menggenggam.
Ada banyak cara untuk peduli. Namun mengapa aku tak menemukan cara untuk peduli terhadap diri sendiri? Aku tak punya cara untuk berbagi, membahagiakan diri. Dan hingga kini, aku masih berdiri di tanah yang berduri, kaki tergores belati tak pernah mati. Aku tak mampu beranjak lantaran cermin yang di depan mata, selalu berkaca bahwa akupun tak pantas untuk sekedar melangkah hingga persimpangan jalan berikutnya.