Seberapa lama akan melayang, yang kemudian
hilang. Disadari atau tidak, diri butuh emosi. Sejauh mata memandang, dengan
hati, hidup sedang tidak di jalannya. Mengapa perlu seperti? Entah, kita hanya
sebagai wayang yang dimainkan oleh sang dalang. Latah, saat hidup kita sudah
dipegang. Sungguh erat pegangannya, bahkan tak bisa dilepas sekalipun. Terlalu lemah,
tangan kita untuk melepas pegangan itu.
Angan masih lekang di awang. Tak pernah
sekalipun lepas. Lalu engkau terlepas atau dilepaskan? Baru saja, bola mimpi
pecah seketika. Hancur, melebur bersama tanah basah. Terbasahi oleh hujan yang
tercipta oleh air mata. Manakala tahu akan begini, kaki sekalipun tak sudi
untuk melangkah ke arah angin kiri. Dari sini, cerita layang-layang dimulai. Seakan
menuju langit, namun awan sekalipun tak sampai. Sedikit kau salah menarik
benang, ia akan hilang. Pernahkah kau merasa demikian?
Bersabarlah, seberapa lama waktu kau akan
hilang, semburat cahaya perlahan akan datang padamu jika kau bersiap sedari
sekarang. Tak apa hilang, karena demikian gelap menenggelamkanmu erat. Ini baru
sepenggal, masih koma, karena hidup tak selamanya berjalan di titik yang sama. Akan
ada koma-koma yang lain hingga benar-bena titik yang diam, dan mati. Selama kau
masih berjalan, merangkak sekalipun haruslah gigih jiwamu. Jangan biarkan ia
kosong, lupa untuk menyongsong.
Berusahalah, bahwa kau harus mampu melewati
kerikil-kerikil yang sengaja Dia ciptakan untukmu. Kerikil yang akan membuatmu
lebih kuat dalam apapun. Terbanglah, selepas kau mampu ciptakan sayapmu
sendiri. Biarlah sekarang engkau masih seperti daun kering terhempas angin lalu
terinjak roda mobil, renyah. Tapi ingatlah, hujanmu adalah kekuatan. Mampu berdiri
dari duri adalah bukan ilusi. Itu mampu tewujud jika engkau senantiasa sujud
kepada sang Maha Wujud.
Terlepas demikian, tetaplah jernih dan gemericik
layaknya air. Sejauh apapun ia mengalir, seberapa kalipun ia terkena hantaman
batuan, dan sesekali masuk dalam kubangan, tapi ia tahu kemana ia kan bermuara.
Samudera.