Bisu tak berarti diam

Bisu tak berarti diam

Selasa, 28 Maret 2017

Syndrom Pejuang LDR

Sudah hari kesekian aku kembali menggoreskan rasa disini. Sudah banyak sekali yang ingin disampaikan, namun ada satu yang ingin sekali aku luapkan.  Dulu, beberapa tahun yang lalu tak pernah terbayangkan untuk menjalin hubungan jarak jauh setelah menikah atau LDR. Dan sekarang, justru sebaliknya.
Banyak rasa yang harus dikorbankan. Karena nyatanya, jarak dan waktu tak hanya menciptakan kesepian namun kesedihan yang mendalam.  Bayangkan saja, satu minggu setelah menikah sang suami kembali ke rutinitas, begitupun denganku. Jarak dua kota yang cukup jauh, dan lagi jadwal yang sama sekali tak bisa dinegosiasi memaksa kita untuk berjauhan, sementara waktu. Yah, sementara. Sekalipun sementara, tetap saja LDR setelah menikah itu menyisakan kesedihan yang mendalam. 
Setiap pagi sampai malam bahkan pagi berikutnya, tak bisa bertatap dengan sosok yang paling dicintai. Meski teknologi sudah canggih luar biasa, namun kehebatannya tak mampu menggantikan kedekatan fisik ketika bersama. Tak ada yang lebih membahagiakan selain dipersatukannya dua manusia setelah menikah. 
Namun, kau kalah jika begini. Kau kalah dengan jika harus menyalahkan keadaan. Sepahit apapun rasa, jangan mau kalah. Tak ada pilihan lain selai menjalaninya dengan lapang. Nikmatilah keadaan ini. Pikirkan hal positif atas keadaan ini. Sembari berdoa suapaya diberikan takdir yang terbaik olehNya. 
Niatkan setiap aktivitas saben harinya untuk ibadah supaya apapun yang kau lakukan berkah. keberkahan yang kemudian melimpah untuk keluarga kecil yang baru. Semangat, kuat dan saling menguatkan. InsyaAllah, semua akan indah pada waktu tepat. 

Selasa, 19 Juli 2016

Jangan malu saat gagal, memangnya siapa di dunia ini yang tak pernah gagal?


Bahwa sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan
sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan
***
Aku pernah gagal, kawan. Lalu apa, hal pertama yang kulakukan, menangis kah?
Apapun yang saya rasakan hari ini, adalah karena saya kecewa. Kecewa lantaran usaha saya yang sudah mati-matian dirasa sia-sia dan tak ada hasil. Selain saya yang dikecewakan, saya pun telah mengecewakan orang-orang yang telah mendukung dan mendoakanku secara penuh.  Bagaimana dengan orang tua saya? Saudara saya? Dan bahkan kawan-kawan yang telah menaruh harapan besar terhadapku?
Apa yang bisa  saya perbuat?
Kukabari orang tuaku, saya tak mengatakan bahwa saya telah gagal. Namun saya menceritakan tentang sebuah permisalan yang seandainya saya gagal ataupun tidak lulus, karena saya tak berani menceritakan kegagalanku. Saya tersayat melukai harapan mereka. Yah, saya tersayat.
Bagaimana jawaban mereka atas cerita permisalan yang saya lontarkan?
Saya meyakini bahwa orang tua saya adalah malaikat penjaga saya. Mereka sama sekali tak menunjukkan rasa kecewa ataupun terlukai. Mereka justru memberikan asupan motivasi untuk saya, bahwasanya apapun hasilnya nanti itu adalah rezekimu. Dan jika memang ini belum jalannya barangkali jalan yang lebih baik telah dipersiapkan untuk saya. Kuncinya adalah satu, ikhlas. Ikhlas dengan apapun yang diberikan karena jalan saya masih panjang, masih ada banyak hal baik yang bisa diperbuat. Dan satu lagi pesan terakhir sebelum menutup perbincangan di telepon, kamu jangan minder dan tetap semangat dengan apapun hasilnya nanti, karena orang tua selalu beroda untuk kebaikanmu.
Cucuran air mata seketika membasahi pipi hingga tak dapat berkata-kata. Saya menangis, namun ini bukan berarti saya jatuh. Ini adalah proses awal untuk kebangkitan atas semangat hidup saya. Akan kubuktikan bahwa aku bisa lebih baik dan lebih sukses dengan jalan yang lain. Akan kujalani tiap proses yang ada. Aku tak akan mengecewakanmu lagi, bapak ibu.
.
***
Sepenggal cerita tentang kegagalan yan pernah saya alami. Memilukan memang, keika kita merasa kecewa dan mengecewakan oran lain. Dengan nasehat orang tua, aku meyakini bahwa rencana Allah selalu berakhir dengan lebih indah. Jika yan kau dapakan belum indah, iu erari elum sampai akhir. Kulanjutkan langkah selanjutnya sampai akhirnya saat masuk pada sebuah yayasan pendidikan yang sedang saya geluti sekarang. Sungguh, ini berkah. Ini lebih indah dari yang saya bayangkan. Berada dalam lingkunan yang dekat dengan nasehat-nasehat kebaikan menujuNya. Disini say belajar untuk tidak hanya mampu memberikan mau’idhoh khasanah (nasehat) tetapi berusaha menjadi uswatun khasanah (Teladan) bagi orang lain teruama anak didik yang menjadi penerus selanjutnya.
Bahwasanya hati harus memiliki rasa yang sejati. Agar mimpi terpatri dalam hati. Pastikan langkahmu maju tanpa terhenti oleh hal kecil yang kau besar-besarkan. Berhentilah memanjakan raga, berjuanglah dengan kau gandeng pengorbanan karena jalanmu masih panjang. Buatlah hidup lebih berati dengan mandiri tanpa melukai siapapun termasuk diri sendiri





Kamis, 11 Februari 2016

Seperti layang-layang. Lepas, melayang, lalu hilang.

 Seperti layang-layang. Lepas, melayang, lalu hilang.
Seberapa lama akan melayang, yang kemudian hilang. Disadari atau tidak, diri butuh emosi. Sejauh mata memandang, dengan hati, hidup sedang tidak di jalannya. Mengapa perlu seperti? Entah, kita hanya sebagai wayang yang dimainkan oleh sang dalang. Latah, saat hidup kita sudah dipegang. Sungguh erat pegangannya, bahkan tak bisa dilepas sekalipun. Terlalu lemah, tangan kita untuk melepas pegangan itu.
Angan masih lekang di awang. Tak pernah sekalipun lepas. Lalu engkau terlepas atau dilepaskan? Baru saja, bola mimpi pecah seketika. Hancur, melebur bersama tanah basah. Terbasahi oleh hujan yang tercipta oleh air mata. Manakala tahu akan begini, kaki sekalipun tak sudi untuk melangkah ke arah angin kiri. Dari sini, cerita layang-layang dimulai. Seakan menuju langit, namun awan sekalipun tak sampai. Sedikit kau salah menarik benang, ia akan hilang. Pernahkah kau merasa demikian?
Bersabarlah, seberapa lama waktu kau akan hilang, semburat cahaya perlahan akan datang padamu jika kau bersiap sedari sekarang. Tak apa hilang, karena demikian gelap menenggelamkanmu erat. Ini baru sepenggal, masih koma, karena hidup tak selamanya berjalan di titik yang sama. Akan ada koma-koma yang lain hingga benar-bena titik yang diam, dan mati. Selama kau masih berjalan, merangkak sekalipun haruslah gigih jiwamu. Jangan biarkan ia kosong, lupa untuk menyongsong.
Berusahalah, bahwa kau harus mampu melewati kerikil-kerikil yang sengaja Dia ciptakan untukmu. Kerikil yang akan membuatmu lebih kuat dalam apapun. Terbanglah, selepas kau mampu ciptakan sayapmu sendiri. Biarlah sekarang engkau masih seperti daun kering terhempas angin lalu terinjak roda mobil, renyah. Tapi ingatlah, hujanmu adalah kekuatan. Mampu berdiri dari duri adalah bukan ilusi. Itu mampu tewujud jika engkau senantiasa sujud kepada sang Maha Wujud.
Terlepas demikian, tetaplah jernih dan gemericik layaknya air. Sejauh apapun ia mengalir, seberapa kalipun ia terkena hantaman batuan, dan sesekali masuk dalam kubangan, tapi ia tahu kemana ia kan bermuara. Samudera. 

Rabu, 27 Januari 2016

Sudahkah menjadi manager untuk dirinya sendiri?

Apa itu manajemen?
Ada beberapa pandangan mengenai pengertian manajemen yang didefiniskan oleh para pakar ilmuwan. Termasuk juga oleh Lewis dkk. (2004), bahwa manajemen adalah suatu kegiatan mengelola dan mengkoordinasi sumber daya sumber daya secara efektif dan efisien sebagai usaha untuk mencapai tujuan.  Mengelola dan mengkoordinasi perlu di garis bawahi dalam hal ini. Bahwa kemampuan manajemen yang bagus adalah yang mampu mengelola dan mengkoordinasi.
Mengapa perlu manajemen?
Perumpamaan sederhana tentang manajmen diri. Dari pengertian manajemen di atas, dapat dicontohkan bagaimana diri kita melakukan manajemen terhdap diri kita sendiri. Bahwa setiap tindakan merupakan hasil dari proses manajemen yang kita lakukan terhadap diri kita sendiri. Pengelolaan hati, pikiran dan juga nafsu yang kemudian dikoordinasikan dengan anggota tubuh. Apapun yang anggota tubuh lakukan seperti halnya kemana arah kaki melangkah, untuk tempat yang baikkah atau sebaliknya, penuh dengan keburukan.  Apa yang tangan lakukan, untuk memberi kah atau mencuri kah, apa yang mulut katakan, untuk berkata yang baik atau untuk berbohongkah? 
Pada hakikatnya, manajemen dilakukan terhadap diri agar supaya diri ini dapat menjalani hidup dengan teratur dan bertindak yang dinaungi dengan nilai kebaikan. Sudahkah bisa memanage dirinya sendiri? sudahkah mampu menjadi manager untuk dirinya sendiri? Mari belajar, meski tertatih, untuk terlatih. 

Selasa, 26 Januari 2016

Bahagiakan Dirimu; Get out of your Comfort Zone!

Dengan hanya mengandalkan mimpimu yang menjulang, kau bisa apa?
Tak cukup dengan mengantongi mimpi, kau harus bangun dan melangkah mengejar mimpi itu. Kamu yang sekarang, benarkah sudah berada di passionmu? sudahkah sudah di level mimpimu yang tertinggi?
Sesekali kau harus tengok sejenak, seberapa jauh langkah yang sudah kau ambil. Seberapa usaha yang sudah kau perjuangkan. Barangkali kau tengah berada dalam zona nyamanmu. Adakah kau tahu? Bahwa zona nyaman sejatinya hanyalah menawarkan kenyamanan yang semu. Itu menipumu. zona nyaman akan mengubur jauh potensimu, semakin lama kau akan terjebak di dalamnya. 

Perhatikan dirimu. Ayo berkaca. Lihat dirimu, adakah perbedaan yang jauh dari hidupmu sebelumnya?
Ingatlah, kau hidup bukan sekedar. Tuhan meciptakanmu tak hanya untuk siklus yang seenaknya kau ciptakan sendiri. Saat kau tumbuh dan berkembang sekalipun, sejatinya bukan hanya untuk dirimu sendiri. Ada banyak orang yang membutuhkanmu. Siapa mereka? Siapapun. Ada banyak orang yang menunggu untuk membanggakanmu, ada bnyak orang butuh dibahagiakan olehmu. Sebelum kau bahagiakan orang lain, bahagiakan dirimu. Bahkan sebelum kau menolong orang lain, tolonglah dirimu. 

Segeralah kau rangkul tekadmu, kesungguhanmu untu segera mengejar mimpimu yang masih erat kau kantongi. Keluarlah dari zona nyamanmu, meski tertatih, biarlah. Tertatih untuk menjadi terlatih. 
Jangan sampai kau pun ikut terkubur mengikuti potensimu yang sampai kini sudah usang. Get out of  your Comfort Zone!

Rabu, 21 Oktober 2015

Bukan Tersesat; Terjerembab dalam Kubang


Adakah kau tahu, saat mata tersuguh layu, hanya mampu tertunduk lalu tergugu. Adakah musim yang tak pernah berganti? Adakah bunga yang senantiasa mekar an tak pernah layu? Semakin kususuri jalan ini, semakin gusar kudapati. Pernah aku mencoba untuk berbalk arah, tapi nihil. Hanya kudapati warna gelap yang barangkali menyesatkan, aku ragu. Aku tak berani untuk berbelok ke arah lain, hanya mampu berjalan lurus, meski sesekali menengok ke belakang namun hanya sayatan yang tergambar.
Aku telah sampai pada titik yang sungguh menjemukan. Hanya kepura-puraan yang serta merta menjadi baju dalam diri. Usang dalam penjamuan malam. Pun hingga pagi masih saja sama, kerdil penuh bekas luka sejak kemarin. Tak pernah mencoba mengobati hingga bertubi. Hanya jeruji yang menimpali lalu pergi, sedang tangan masih menggenggam.
Ada banyak cara untuk peduli. Namun mengapa aku tak menemukan cara untuk peduli terhadap diri sendiri? Aku tak punya cara untuk berbagi, membahagiakan diri. Dan hingga kini, aku masih berdiri di tanah yang berduri, kaki tergores belati tak pernah mati. Aku tak mampu beranjak lantaran cermin yang di depan mata, selalu berkaca bahwa akupun tak pantas untuk sekedar melangkah hingga persimpangan jalan berikutnya.


Minggu, 03 Mei 2015

Elegi Si Gadis Kecil


Dalam senja temaram, si gadis kecil tengah bersedeku memeluk kedua lututnya. Duduk diam dibalik bilik anyaman bambu terdengar tangisan tergugu. Hujan sedari tadi kian menderas, semakin membasahi tubuh mungil tersebab tetesan dari atap yang tak rapat. Sedang apa gerangan gadis kecil itu? Rupanya ia sedang menunggui ibunya yang masih belum pulang dari pagi tadi. Sang ibu berangkat untuk menjajakkan dagangannya hampir ke pelosok desa. Kue lapis dan beberapa macam gorengan hasil tangan dari si gadis kecil dan sang ibu saben harinya menjadi hasil pokok untuk sesuap nasi.
Hari ini tak seperti biasanya, hujan kali ini pun tak seperti biasanya. Nampaknya langit benar-benar muram, wajahnya gelap laksana murka sang raja. Derasnya hujan dsertai terapaan angin yang kencang menggoyangkan pohon-pohon berdahan besar. Gubuk kecil di atas sepetak tanah pun hampir ikut terseok angin yang membawa hujan. begitu pula dengan hujan di mata si gadis kecil, air matanya semakin menderas. Bukan karena ia takut akan hujan yang lebat dan angin yang bak badai, namun karena ia gelisah. Sosok yang ditunggu tak kunjung nampak di pelupuk, sang ibu.
Hatinya kian tergoncang kerap kali angin menghempaskan dirinya. Tak dapat melakukan apapun, hanya duduk diam tak boleh beranjak sampai sangiIbu kembali, begitulah pesannya.
***
Kakinya terseok oleh genangan air yang kian meninggi. Telapak kaki yang tanpa alas telah payah. Kepala yang menyunggu tampah isi gorengan kini nampak sudah habis. Tapi ternyata bukan, rupanya dagangannya masih utuh, hanya berkurang beberapa potong saja. Bahkan kini sudah agak basah oleh hujan. Semua gorengan dimasukkan ke dalam kantong keresek berukuran agak besar di dalam rinjing yang masih lekat digendongan punggungnya.
Sudah seharian keliling desa, menyusuri hujan yang kian menderas, hingga petang menjelang namun rezeki hari ini tak seperti kemarin yang hanya setengah hari sudah habis  terjual. Sesekali berteduh di emperan rumah warga yang berkenan untuk ditumpangi. Orang mana yang mau membeli gorengan basah dikala hujan menggenangi jalanan dan angin menggigilkan badan. Sang ibu tak mau pulang sebelum dagangan lau, sebelum receh memenuhi kantong plastiknya.  Akan makan apa, esok? Sungguh Demi Tuhan, jikalau saya masihlah sendirian, aku tak makan seharian pun tak jadi soal, tapi bagaimana dengan gadis kecilku? Malaikat kecil titipanNya. Ibu macam apa aku ini, yang tak sanggup memberikan suapan nasi untuk anaknya. Hati sang ibu bergoncang.
Sang ibu kian payah, langkahnya gontai. Daun pisang yang memayungi tubuhnya jatuh lepas terhempas angin. Tubuh ringkih yang kian payah jatuh tergopoh di jalanan panjang di sudut pelosok. Seketika gendongan ikut buyar bersama gorengan basah terbungkus plastik bolong. Tak satupun mata yang melihat tubuhnya tergeletak dalam genangan air, hingga membiru. Ranting berguguran ikut menyudahi nafas dan detak jantungnya. Dan esok pagi adalah elegi.
***

            Lihatlah, gadis kecil itu masih saja duduk di balik bilik gubuknya. Rupanya ia masih menunggui Sang Ibu yang sudah membiru di ujung jalan desa. Tangisnya tak lagi tergugu, tangisnya pecah seketika saat tubuh sang ibu telah kembali, kembali bersama rombongan yang membopongnya. Sang ibu telah menjadi jenazah. Tubuhnya hampir beku, wajahnya pucat pasi meninggalkan duka yang teramat lara. Si gadis kecil kian erat memeluk sang Ibu yang tak lagi mampu mengusap air matanya.