Bisu tak berarti diam

Bisu tak berarti diam

Minggu, 24 November 2013

Terlambat Pulang



Dengan hati yang tak ingin berpaling, kaki yang tak ingin beranjak
hati kian kelu memanggili namamau, lirih
semoga sampai pada muaramu.
Dalam dekapan malam yang kian bisu, kubergertar karena rindu yang menjalar hingga ulu hingga pagi menjelang. Menetes lalu mengalir, terasa hangat di pipi. Mungkin inilah aliran yang sebenarnya; air mata.
Mungkin sudah terlambat, jika saat ini aku kembali. Saat telah kutemukan jalan pulang tanpa harus kau tuntun seperti janjimu yang akan menuntunku kembali. Bagaimana aku? sedang aku terus melangkah menuju rumah yang sebenarnya. Terlalu lama ku menikmati keindahan semu di luar rumah yang ternyata tak lebih indah dari rumah yang sesungguhnya; yaitu kamu.
Mungkin sudah terlambat, jika saat ini kucoba untuk menghidupkan kembali cahaya yang sempat padam. Terpadamkan oleh angin dari setiap sisi duniawi. Cahaya yang kau pertahankan saat angin yang begitu kencangnya menghempas tanpa belas kasih bahkan tanpa sisa.
Mungkin sudah terlambat, jika saat ini kuraih tanganu. Kugandeng tanganmu untuk kembali menapaki jembatan yang pernah lapuk, payah oleh badai yang kutebar padamu. Kuajak engkau menuju musim semi yang bahagia seperti mimpiku dan mimpimu.
***
.”Apa kabarmu”, sapaku memulai perbincangan di tengah rumput hijau bertebar wewangian bunga di taman penantian hati
“Sama denganmu”, jawabmu tanpa sedikit pun melihat ke arahku.
“Lalu bagaimana kabar hatimu, Bagaimana harusnya aku untuk mengobati luka yang kutebar tepat di hatimu?”, masih saja tatapan tertuju pada sudut yang tanpa makna
“Terlambat”,  tanpa sapaan sedikitpun kau beranjak melangkah meninggalkanku yang tengah duduk gemetar tak percaya kenyataan.
Barangkali permohonan maafku padamu pun sudah terlambat. Mata dan telinga ini mulai membaca dan mendengar apa yang pada dirimu sekarang. Mungkin saja kau telah payah. Saat kau merasakan ketulusan dan kesetianmu tak berarti apapun di mataku. Saat surat-suratmu yang kau bubuhkan darahmu di akhir tulisanmu tak terbalas olehku. Surat yang kau titipkan pada temanku saat aku sudah terlelap dan tepat berada di depanku saat aku membuka mata. Surat yang selalu berberntuk hati berisikan ungkapan atas hatimu yang memintaku untuk kembali.
Mungkin lantaran inilah kau perlahan menjauh. Langkahmu mundur satu persatu, sangat perlahan. Namun masih sempat terbaca olehku. Maaf atas perlakuanku yang ternyata menyurutkan hatimu, memadamkan cahaya yang susah payah kau pertahankan.
***
Duduk sendiri dalam buaian purnama. Suara malam berbisik lirih, mengajakku untuk sekedar mengembangkan senyum pada garis wajah yang telah lama tegantikan air mata. Pandanganku terarah pada bintang yang tengah sendiri seperti keadaanku saat ini. Tak ingin beranjak ataupun melanjutkan langkah karena hati yang terlanjur terhuni oleh rasa penyesalan membelenggu. Cahanya mengajakku mengingat kisah yang lalu yang semakin menyakitkan. Kau datang padaku, mengabarkan hatimu yang tengah kesakitan atas pilihanku yang ternyata tak memilihmu. Aku memilih untuk memadamkan cahaya yang hamper dua tahun kita hidupkan. Dan mengubur mimpi menuju musim semi yang bahagia bersamamu.
Matamu yang semakin deras oleh airmata dan ucapanmu yang terbata-bata menyentuh hati yang sudah terlanjur menjatuhkan pilihan.
“Katakana padaku, benarkah engkau telah memilihnya?”, tanyamu lirih menatap mataku yang berusaha untuk tak terbawa dengan lukamu. Aku terdiam, lisanku kelu.
“Jawablah pertanyaanku. Apa arti diammu saat ini. Apakah ini memang benar adanya bukan mimpiku semata?”, matamu semakin berkaca-kaca.
Anggukan kepalaku yang sedari tadi menahan air mata menetes menjadi jawaban atas hatiku yang tengah kau pertanyakan saat ini.
“Apakah kau telah ingkar dengan janjimu. Janji untuk selalu menjaga hati atas cahaya?”, dengan terbata seraya tetesan air mata mengiringi.
Aku terbawa oleh lukamu yang telah terpatahkan separuh sayapmu olehku hingga usahaku pun sia-sia menahannya; air mataku menetes bahkan mengalir namun tak sederas air matamu. Hening. Hanya suara sesenggukan atas tangismu yang kudengar malam ini.
  “Aku akan menunggumu. Cahaya akan menuntunmu pulang ke rumah yang sebenarnya jika kau ternyata telah tersesat di jalanmu yang saat ini telah kau pilih. Izinkan cahaya untuk membawamu pulang. Sampaikan padanya, selamat telah mendapatkan perempuan yang paling kucintai”, lisanku masih saja kelu. Dan bahkan saat ini air mataku menganak sungai. Lebih deras dari air matamu.
Dan kini, saat aku tengah menemukan celah ditengah tersesatnya aku lalu menyusuri jalan pulang tanpa kau tuntun harus berlinang air mata. Rumah tempat kukembali telah terhuni oleh orang lain.
***
Mungkin sudah terlambat, jika saat ini kubicara tentang ketulusan dan kesetiaan. Ketulusanmu yang  kuacuhkan dan kesetiaanmu yang kubuang.
Semoga aku tak terlambat untuk sampaikan terima kasih padamu. Terima kasih untuk perjuanganmu atas hati yang mungkin telah menyia-nyiakan ketulusanmu. Terima kasih telah meminjamkan bahu saat aku tengah kesakitan di malam-malam yang pasi waktu lalu.
Terima kasih engkau telah mengajarkanku untuk lebih bersikap dewasa dalam menjalani kesakralan sebuah kesetiaan atas nama cinta. Dan semoga setelah ini aku akan menjadi orang yang selalu belajar ketulusa yang sebenar-benar ketulusan dan kesetiaan yanag sebenar-benar kesetiaan.
Janur kuning melengkung tepat di depan rumahmu. Sebait puisi kulayangkan padamu ditengah gerimisnya jiwa.
Pernah kau memintaku untuk kembali, kau serius padaku
Kau rela menangis karenaku atas luka yang kutebar tepat dihatimu
Namun kini,
Akulah yang sebenarnya perempuan yang paling menyesal karena tak memilihmu.
Aku yang terbujuk oelh keindahan semu semata
Namun aku bahagia,
Atas kebahagiaanmu menemukan rumah yang sebenarnya
Rumah tempat untuk berteduh, atas hujan yang kuturunkan padamu
Rumah yang mampu memberikan kesejukan atas kegersangan yang kuluapkan padamu.
***
            Kau adalah sosok yang berharga. Beribu pelangi telah kau lukis dalam kisahku. Terima kasih.