Dengan
hati yang tak ingin berpaling, kaki yang tak ingin beranjak
hati
kian kelu memanggili namamau, lirih
semoga
sampai pada muaramu.
Dalam
dekapan malam yang kian bisu, kubergertar
karena rindu yang menjalar hingga ulu hingga pagi menjelang. Menetes lalu
mengalir, terasa hangat di pipi. Mungkin inilah aliran yang sebenarnya; air
mata.
Mungkin
sudah terlambat, jika saat ini aku kembali. Saat telah kutemukan jalan pulang
tanpa harus kau tuntun seperti janjimu yang akan menuntunku kembali. Bagaimana
aku? sedang aku terus melangkah menuju rumah yang sebenarnya. Terlalu lama ku
menikmati keindahan semu di luar rumah yang ternyata tak lebih indah dari rumah
yang sesungguhnya; yaitu kamu.
Mungkin
sudah terlambat, jika saat ini kucoba untuk menghidupkan kembali cahaya yang
sempat padam. Terpadamkan oleh angin dari setiap sisi duniawi. Cahaya yang kau
pertahankan saat angin yang begitu kencangnya menghempas tanpa belas kasih
bahkan tanpa sisa.
Mungkin
sudah terlambat, jika saat ini kuraih tanganu. Kugandeng tanganmu untuk kembali
menapaki jembatan yang pernah lapuk, payah oleh badai yang kutebar padamu.
Kuajak engkau menuju musim semi yang bahagia seperti mimpiku dan mimpimu.
***
.”Apa
kabarmu”, sapaku memulai perbincangan di tengah rumput hijau bertebar wewangian
bunga di taman penantian hati
“Sama
denganmu”, jawabmu tanpa sedikit pun melihat ke arahku.
“Lalu
bagaimana kabar hatimu, Bagaimana harusnya aku untuk mengobati luka yang
kutebar tepat di hatimu?”, masih saja tatapan tertuju pada sudut yang tanpa
makna
“Terlambat”,
tanpa sapaan sedikitpun kau beranjak
melangkah meninggalkanku yang tengah duduk gemetar tak percaya kenyataan.
Barangkali
permohonan maafku padamu pun sudah terlambat. Mata dan telinga ini mulai
membaca dan mendengar apa yang pada dirimu sekarang. Mungkin saja kau telah
payah. Saat kau merasakan ketulusan dan kesetianmu tak berarti apapun di
mataku. Saat surat-suratmu yang kau bubuhkan darahmu di akhir tulisanmu tak
terbalas olehku. Surat yang kau titipkan pada temanku saat aku sudah terlelap
dan tepat berada di depanku saat aku membuka mata. Surat yang selalu berberntuk
hati berisikan ungkapan atas hatimu yang memintaku untuk kembali.
Mungkin
lantaran inilah kau perlahan menjauh. Langkahmu mundur satu persatu, sangat
perlahan. Namun masih sempat terbaca olehku. Maaf atas perlakuanku yang
ternyata menyurutkan hatimu, memadamkan cahaya yang susah payah kau
pertahankan.
***
Duduk
sendiri dalam buaian purnama. Suara malam berbisik lirih, mengajakku untuk
sekedar mengembangkan senyum pada garis wajah yang telah lama tegantikan air
mata. Pandanganku terarah pada bintang yang tengah sendiri seperti keadaanku
saat ini. Tak ingin beranjak ataupun melanjutkan langkah karena hati yang
terlanjur terhuni oleh rasa penyesalan membelenggu. Cahanya mengajakku
mengingat kisah yang lalu yang semakin menyakitkan. Kau datang padaku,
mengabarkan hatimu yang tengah kesakitan atas pilihanku yang ternyata tak
memilihmu. Aku memilih untuk memadamkan cahaya yang hamper dua tahun kita hidupkan.
Dan mengubur mimpi menuju musim semi yang bahagia bersamamu.
Matamu
yang semakin deras oleh airmata dan ucapanmu yang terbata-bata menyentuh hati
yang sudah terlanjur menjatuhkan pilihan.
“Katakana
padaku, benarkah engkau telah memilihnya?”, tanyamu lirih menatap mataku yang
berusaha untuk tak terbawa dengan lukamu. Aku terdiam, lisanku kelu.
“Jawablah
pertanyaanku. Apa arti diammu saat ini. Apakah ini memang benar adanya bukan
mimpiku semata?”, matamu semakin berkaca-kaca.
Anggukan
kepalaku yang sedari tadi menahan air mata menetes menjadi jawaban atas hatiku
yang tengah kau pertanyakan saat ini.
“Apakah
kau telah ingkar dengan janjimu. Janji untuk selalu menjaga hati atas cahaya?”,
dengan terbata seraya tetesan air mata mengiringi.
Aku
terbawa oleh lukamu yang telah terpatahkan separuh sayapmu olehku hingga
usahaku pun sia-sia menahannya; air mataku menetes bahkan mengalir namun tak
sederas air matamu. Hening. Hanya suara sesenggukan atas tangismu yang kudengar
malam ini.
“Aku akan menunggumu. Cahaya akan menuntunmu
pulang ke rumah yang sebenarnya jika kau ternyata telah tersesat di jalanmu
yang saat ini telah kau pilih. Izinkan cahaya untuk membawamu pulang. Sampaikan
padanya, selamat telah mendapatkan perempuan yang paling kucintai”, lisanku masih
saja kelu. Dan bahkan saat ini air mataku menganak sungai. Lebih deras dari air
matamu.
Dan
kini, saat aku tengah menemukan celah ditengah tersesatnya aku lalu menyusuri
jalan pulang tanpa kau tuntun harus berlinang air mata. Rumah tempat kukembali
telah terhuni oleh orang lain.
***
Mungkin
sudah terlambat, jika saat ini kubicara tentang ketulusan dan kesetiaan.
Ketulusanmu yang kuacuhkan dan
kesetiaanmu yang kubuang.
Semoga
aku tak terlambat untuk sampaikan terima kasih padamu. Terima kasih untuk perjuanganmu
atas hati yang mungkin telah menyia-nyiakan ketulusanmu. Terima kasih telah
meminjamkan bahu saat aku tengah kesakitan di malam-malam yang pasi waktu lalu.
Terima
kasih engkau telah mengajarkanku untuk lebih bersikap dewasa dalam menjalani
kesakralan sebuah kesetiaan atas nama cinta. Dan semoga setelah ini aku akan
menjadi orang yang selalu belajar ketulusa yang sebenar-benar ketulusan dan
kesetiaan yanag sebenar-benar kesetiaan.
Janur
kuning melengkung tepat di depan rumahmu. Sebait puisi kulayangkan padamu
ditengah gerimisnya jiwa.
Pernah
kau memintaku untuk kembali, kau serius padaku
Kau
rela menangis karenaku atas luka yang kutebar tepat dihatimu
Namun
kini,
Akulah
yang sebenarnya perempuan yang paling menyesal karena tak memilihmu.
Aku
yang terbujuk oelh keindahan semu semata
Namun
aku bahagia,
Atas
kebahagiaanmu menemukan rumah yang sebenarnya
Rumah
tempat untuk berteduh, atas hujan yang kuturunkan padamu
Rumah
yang mampu memberikan kesejukan atas kegersangan yang kuluapkan padamu.
***
Kau adalah sosok yang berharga.
Beribu pelangi telah kau lukis dalam kisahku. Terima kasih.