Malam
ini aku kembali menjatuhkan air mata, tangisku tergugu. Sudah dua malam seperti
ini, lantaran rindu yang merajam. Terhitung belum sampai tiga malam, dada ini
terasa perih. Akankah aku kalah? Kalah terhadap apa, atau siapa?
Bukan
aku takut kehilangan dan atau aku terlalu ringkih untuk sendiri disini, hanya
belum berani untuk membiasakan diri tanpanya di sisi. Tanpa wajahnya yang lekat
dengan senyuman khasnya, tawanya yang tanpa paksaan dan hangat tatapnya. Halus
tuturnya namun tegas mendamaikan, bahu legamnya untuk bersandar sesekali saat
diri tak lagi mampu berdiri, untuk sekedar menahan kepala supaya tak jatuh lalu
tersungkur.
Bagai
tanaman kering tersebab kemarau yang datang tiba-tiba, sebentar lagi layu jika
tak kunjung tersirami ribuan tetesan hujan yang sebenarnya. Tapi sadarlah,
bahwa jika aku menyerah lalu layu, aku akan kalah. Berusahalah untuk
menyelamatkan diri sendiri dari kemaraunya jiwa. Ingatlah, bahwa hujan sudah
berjanji akan dating dengan segenap ketulusan yang mewangikan taman di hati.
Ketahuilah, bahwa hujan mampu menyudahi semua elegi yang kini sedang menjamahi.
Seperti
inikah, rindu?
Di kala
malam mulai datang dengan sambutan hangat senja yang temaram, sekujur mulai
menggigil. Perlahan tangan ini menyeka air mata hangat yang membasahi kelopak
dan berjatuhan mengaliri pipi. Dan malam ini, aku benar-benar jatuh padamu,
pada bahumu yang meski semu.