Bisu tak berarti diam

Bisu tak berarti diam

Minggu, 03 Mei 2015

Elegi Si Gadis Kecil


Dalam senja temaram, si gadis kecil tengah bersedeku memeluk kedua lututnya. Duduk diam dibalik bilik anyaman bambu terdengar tangisan tergugu. Hujan sedari tadi kian menderas, semakin membasahi tubuh mungil tersebab tetesan dari atap yang tak rapat. Sedang apa gerangan gadis kecil itu? Rupanya ia sedang menunggui ibunya yang masih belum pulang dari pagi tadi. Sang ibu berangkat untuk menjajakkan dagangannya hampir ke pelosok desa. Kue lapis dan beberapa macam gorengan hasil tangan dari si gadis kecil dan sang ibu saben harinya menjadi hasil pokok untuk sesuap nasi.
Hari ini tak seperti biasanya, hujan kali ini pun tak seperti biasanya. Nampaknya langit benar-benar muram, wajahnya gelap laksana murka sang raja. Derasnya hujan dsertai terapaan angin yang kencang menggoyangkan pohon-pohon berdahan besar. Gubuk kecil di atas sepetak tanah pun hampir ikut terseok angin yang membawa hujan. begitu pula dengan hujan di mata si gadis kecil, air matanya semakin menderas. Bukan karena ia takut akan hujan yang lebat dan angin yang bak badai, namun karena ia gelisah. Sosok yang ditunggu tak kunjung nampak di pelupuk, sang ibu.
Hatinya kian tergoncang kerap kali angin menghempaskan dirinya. Tak dapat melakukan apapun, hanya duduk diam tak boleh beranjak sampai sangiIbu kembali, begitulah pesannya.
***
Kakinya terseok oleh genangan air yang kian meninggi. Telapak kaki yang tanpa alas telah payah. Kepala yang menyunggu tampah isi gorengan kini nampak sudah habis. Tapi ternyata bukan, rupanya dagangannya masih utuh, hanya berkurang beberapa potong saja. Bahkan kini sudah agak basah oleh hujan. Semua gorengan dimasukkan ke dalam kantong keresek berukuran agak besar di dalam rinjing yang masih lekat digendongan punggungnya.
Sudah seharian keliling desa, menyusuri hujan yang kian menderas, hingga petang menjelang namun rezeki hari ini tak seperti kemarin yang hanya setengah hari sudah habis  terjual. Sesekali berteduh di emperan rumah warga yang berkenan untuk ditumpangi. Orang mana yang mau membeli gorengan basah dikala hujan menggenangi jalanan dan angin menggigilkan badan. Sang ibu tak mau pulang sebelum dagangan lau, sebelum receh memenuhi kantong plastiknya.  Akan makan apa, esok? Sungguh Demi Tuhan, jikalau saya masihlah sendirian, aku tak makan seharian pun tak jadi soal, tapi bagaimana dengan gadis kecilku? Malaikat kecil titipanNya. Ibu macam apa aku ini, yang tak sanggup memberikan suapan nasi untuk anaknya. Hati sang ibu bergoncang.
Sang ibu kian payah, langkahnya gontai. Daun pisang yang memayungi tubuhnya jatuh lepas terhempas angin. Tubuh ringkih yang kian payah jatuh tergopoh di jalanan panjang di sudut pelosok. Seketika gendongan ikut buyar bersama gorengan basah terbungkus plastik bolong. Tak satupun mata yang melihat tubuhnya tergeletak dalam genangan air, hingga membiru. Ranting berguguran ikut menyudahi nafas dan detak jantungnya. Dan esok pagi adalah elegi.
***

            Lihatlah, gadis kecil itu masih saja duduk di balik bilik gubuknya. Rupanya ia masih menunggui Sang Ibu yang sudah membiru di ujung jalan desa. Tangisnya tak lagi tergugu, tangisnya pecah seketika saat tubuh sang ibu telah kembali, kembali bersama rombongan yang membopongnya. Sang ibu telah menjadi jenazah. Tubuhnya hampir beku, wajahnya pucat pasi meninggalkan duka yang teramat lara. Si gadis kecil kian erat memeluk sang Ibu yang tak lagi mampu mengusap air matanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar