Dalam
senja temaram, si gadis kecil tengah bersedeku memeluk kedua lututnya. Duduk
diam dibalik bilik anyaman bambu terdengar tangisan tergugu. Hujan sedari tadi
kian menderas, semakin membasahi tubuh mungil tersebab tetesan dari atap yang
tak rapat. Sedang apa gerangan gadis kecil itu? Rupanya ia sedang menunggui
ibunya yang masih belum pulang dari pagi tadi. Sang ibu berangkat untuk
menjajakkan dagangannya hampir ke pelosok desa. Kue lapis dan beberapa macam
gorengan hasil tangan dari si gadis kecil dan sang ibu saben harinya menjadi
hasil pokok untuk sesuap nasi.
Hari
ini tak seperti biasanya, hujan kali ini pun tak seperti biasanya. Nampaknya
langit benar-benar muram, wajahnya gelap laksana murka sang raja. Derasnya
hujan dsertai terapaan angin yang kencang menggoyangkan pohon-pohon berdahan
besar. Gubuk kecil di atas sepetak tanah pun hampir ikut terseok angin yang
membawa hujan. begitu pula dengan hujan di mata si gadis kecil, air matanya
semakin menderas. Bukan karena ia takut akan hujan yang lebat dan angin yang
bak badai, namun karena ia gelisah. Sosok yang ditunggu tak kunjung nampak di
pelupuk, sang ibu.
Hatinya
kian tergoncang kerap kali angin menghempaskan dirinya. Tak dapat melakukan
apapun, hanya duduk diam tak boleh beranjak sampai sangiIbu kembali, begitulah
pesannya.
***
Kakinya
terseok oleh genangan air yang kian meninggi. Telapak kaki yang tanpa alas
telah payah. Kepala yang menyunggu
tampah isi gorengan kini nampak sudah habis. Tapi ternyata bukan, rupanya
dagangannya masih utuh, hanya berkurang beberapa potong saja. Bahkan kini sudah
agak basah oleh hujan. Semua gorengan dimasukkan ke dalam kantong keresek
berukuran agak besar di dalam rinjing yang
masih lekat digendongan punggungnya.
Sudah seharian
keliling desa, menyusuri hujan yang kian menderas, hingga petang menjelang namun
rezeki hari ini tak seperti kemarin yang hanya setengah hari sudah habis terjual. Sesekali berteduh di emperan rumah
warga yang berkenan untuk ditumpangi. Orang mana yang mau membeli gorengan
basah dikala hujan menggenangi jalanan dan angin menggigilkan badan. Sang ibu
tak mau pulang sebelum dagangan lau, sebelum receh memenuhi kantong plastiknya. Akan makan apa, esok? Sungguh Demi Tuhan, jikalau saya masihlah sendirian, aku tak makan
seharian pun tak jadi soal, tapi bagaimana dengan gadis kecilku? Malaikat kecil
titipanNya. Ibu macam apa aku ini, yang tak sanggup memberikan suapan nasi
untuk anaknya. Hati sang ibu bergoncang.
Sang
ibu kian payah, langkahnya gontai. Daun pisang yang memayungi tubuhnya jatuh
lepas terhempas angin. Tubuh ringkih yang kian payah jatuh tergopoh di jalanan
panjang di sudut pelosok. Seketika gendongan ikut buyar bersama gorengan basah
terbungkus plastik bolong. Tak
satupun mata yang melihat tubuhnya tergeletak dalam genangan air, hingga
membiru. Ranting berguguran ikut menyudahi nafas dan detak jantungnya. Dan esok
pagi adalah elegi.
***
Lihatlah, gadis kecil itu masih saja
duduk di balik bilik gubuknya. Rupanya ia masih menunggui Sang Ibu yang sudah
membiru di ujung jalan desa. Tangisnya tak lagi tergugu, tangisnya pecah
seketika saat tubuh sang ibu telah kembali, kembali bersama rombongan yang membopongnya. Sang ibu telah menjadi
jenazah. Tubuhnya hampir beku, wajahnya pucat pasi meninggalkan duka yang
teramat lara. Si gadis kecil kian erat memeluk sang Ibu yang tak lagi mampu
mengusap air matanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar