Kupandangi langit berpenghuni. Kutatap
awan yang sedari tadi diam tak bergeser sedikitpun. Seakan sedang melamun
meratapi nasibnya. Berbeda dengan awan di sekelilingnya yang seakan saling
berkejaran mengerumuni langit sore menuju senja. Akupun sendiri. Jiwaku kering
menunggu tetesan embun esok pagi yang tak kunjung datang untuk membasahinya.
Kutundukkan
kepalaku bertatap dengan tanah kering yang menunggu kucuran air mata langit.
Nampak pucat tanah itu. Kerinduannya pada rintik yang saling beriringan
membuatnya dirundung gelisah menanti sentuhan-sentuhan lembut penuh makna. Pun
aku yang sedari tadi memperhatikan hanya menginjaknya dengan lembut; takut
semakin melukai.
Denting
waktu kian melaju namun sangat lamban kurasa putarannya. Waktu sedang tak
bersahabat, pikirku. Belakangan selalu seperti ini. Dimana senja? Bukankah sekarang
waktunya untuk menampakkan wajahnya, menyihir semesta untuk terkagum akan
keindahannya. Apa yang membuatnya enggan atau mungkin dia telah hilang? Haruskah
aku merayunya dengan kalimat-kalimat yang puisi seperti para pujangga agar dia
kembali.
Kutengadahkan
kedua tanganku. Kuangkat kepalaku menuju langit. Mungkinkah aku akan berdoa?
Kalimat seperti apa yang akan aku ucapkan sedang aku sendiri tak mampu meragkai
kata-kata indah; masih terbata-bata. Lantas, apa yang harus aku perbuat untuk
dapat kembali meraih senja dan ku dapati embun untuk jiwaku. Kepada siapa aku
akan bertanya.
Aku berada dalam
kebingungan yang membelenggu. Jalan setapak di tengah hamparan hati yang
semakin menyempt oleh erosi yang menggugurkan bagian-bagian di dalamnya ku
lewati dengan perlahan; sangat pelan. Aku takut semakin gugur hingga akhirnya menyempit
dan menghilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar