Bisu tak berarti diam

Bisu tak berarti diam

Kamis, 19 Desember 2013

Cerita sore ini



Kupandangi langit berpenghuni. Kutatap awan yang sedari tadi diam tak bergeser sedikitpun. Seakan sedang melamun meratapi nasibnya. Berbeda dengan awan di sekelilingnya yang seakan saling berkejaran mengerumuni langit sore menuju senja. Akupun sendiri. Jiwaku kering menunggu tetesan embun esok pagi yang tak kunjung datang untuk membasahinya.
            Kutundukkan kepalaku bertatap dengan tanah kering yang menunggu kucuran air mata langit. Nampak pucat tanah itu. Kerinduannya pada rintik yang saling beriringan membuatnya dirundung gelisah menanti sentuhan-sentuhan lembut penuh makna. Pun aku yang sedari tadi memperhatikan hanya menginjaknya dengan lembut; takut semakin melukai.
            Denting waktu kian melaju namun sangat lamban kurasa putarannya. Waktu sedang tak bersahabat, pikirku. Belakangan selalu seperti ini. Dimana senja? Bukankah sekarang waktunya untuk menampakkan wajahnya, menyihir semesta untuk terkagum akan keindahannya. Apa yang membuatnya enggan atau mungkin dia telah hilang? Haruskah aku merayunya dengan kalimat-kalimat yang puisi seperti para pujangga agar dia kembali.
            Kutengadahkan kedua tanganku. Kuangkat kepalaku menuju langit. Mungkinkah aku akan berdoa? Kalimat seperti apa yang akan aku ucapkan sedang aku sendiri tak mampu meragkai kata-kata indah; masih terbata-bata. Lantas, apa yang harus aku perbuat untuk dapat kembali meraih senja dan ku dapati embun untuk jiwaku. Kepada siapa aku akan bertanya.
            Aku berada dalam kebingungan yang membelenggu. Jalan setapak di tengah hamparan hati yang semakin menyempt oleh erosi yang menggugurkan bagian-bagian di dalamnya ku lewati dengan perlahan; sangat pelan. Aku takut semakin gugur hingga akhirnya menyempit dan menghilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar